Ketabahan
Menghadapi Hidup
Disudut kota yang
metropolitan ini, terdapat rumah kecil yang tak layak lagi untuk ditinggali
oleh siapapun. Jangankan untuk manusia, untuk hewanpun sepertinya rumah itu tak
layak untuk menjadi kandang. Rumah
itu bagaikan jaring kecil yang
tidak bisa menahan air hujan. Dinding rapuh yang kapanpun mungkin bisa rubuh.
Sungguh menyedihkan rumah itu. Seakan tak ada pengghuni namun ternyata di dalam
rumah itu hidup seorang anak perempuan bersama kakek yang sudah tua dan tak
mampu berbuat banyak lagi.
Anak perempuan itu
adalah Wati yang berumur 10 tahun yang harus bekerja keras mencari uang demi
sesuap nasi. Dari lubuk hati yang paling dalam, kakek Wati tak mau melihat
cucunya bekerja keras di usia yang masih kecil yang menurut kakek itu
seharusnya cucunya hanya bermain bersama teman-temannya. Namun, apa daya dari
kakek itu, ia tak bisa lagi mencari rezeki yang dikarenakan ia lumpuh. Setiap
hari kakek itu hanya bisa melihat perginya Wati mencari uang dan pulangnya Wati
membawa makanan. Hati kakek itu sangat sedih
melihat keadaannya sekarang. Namun sekali lagi ia harus menghela nafas panjang
dan hanya bersabar karena keadaannya itu.
Setiap hari Wati mencari
nafkah di tengah kota yang sesak ini. Ia mencari uang dengan bekerja sebagai
penyemir sepatu orang yang kebetulan lewat. Menurutnya, menyemir sepatu orang
lebih baik daripada meminta-minta di pinggir jalan yang dapat menyusahkan orang
yang sedang menggunakan jalan. Wati adalah seorang anak yang tegar dan kuat, ia
mampu bertahan
hidup dengan segala keterbatasan yang amat pedih. Ia pun juga tidak bersekolah,
karena hanya meikirkan mecari uang untuk hidup kakeknya dan juga dirinya. Ia
tak pernah letih dan terus berjuang menghadapi hidup yang kadang kejam.
Hari demi hari terus
berlalu, wati yang bekerja sebagai penyemir sepatu akhirnya bertemu dengan
seseorang di saat sedang mencari pelanggan yang mau disemir sepatunya.
“Nak, Nak,,, sini nak...” suara
terdengar dari belakang Wati.
“Maaf bu, ibu memanggil saya?” Watipun
berbalik arah dan mencari asal suara itu dan setelah mendapat sumber suara itu
kemudian bertanya.
“Ia nak, kamu...” Ibu itupun menjawab
pertanyaan Wati.
“Ada apa ya bu, maaf. sepatu ibu
sepertinnya tidak bisa disemir” Ucap wati yang heran melihat seorang ibu yang
berpenampilan mewah memanggilnya.
“Oh,,, tidak nak, saya bukan mau
menyemir.” Timpal ibu itu.
“Kalau begitu,,, mau apa bu... maaf
sebelumnya bu...” wati merespon.
“Kamu kok ada disini terus nak, pagi dan
siang kamu disini terus, kamu tidak sekolah?” tanya ibu itu.
Sejenak Watipun tunduk dan terdiam, tak
sadar ia teteskan air mata kecil yang jatuh dari pelupuk matanya. Sambil berpaling muka ia berusaha
menjawab.
“Ma ma maaf bu... saya tidak sekolah”
jawab Wati.
“Loh,,, kamu kok tidak sekolah?” tanya
ibu itu lagi.
“Aku tidak punya uang bu’...” jawab
Wati.
“Oh kasian kamu ya...” ucap ibu itu
sambil menunjukkan wajah sedih yang benar-benar tulus apa adanya kepada wati.
Melihat
kerja keras dari seorang Wati mempertahankan hidup di kota yang sangat sibuk
itu, Ibu itupun mengambil wati untuk di jadikan anak angkatnya dan membiayai
hidup wati. Watipun merasa bahagia dan haru. Ia kini bisa sekolah dan tak perlu
bekerja keras lagi mencari uang untuk kakek dan dirinya. Karena selain dia yang
diangkat sebagai anak angkat, kakeknya juga tidak ditelantarkan. Wati masih
diberi kesempatan tinggal bersama kakeknya di rumah ibu itu. Kini wati bisa
mengahabiskan waktu yang tersisa bersama kakeknya.
No comments:
Post a Comment
Mohon komentar dari pengunjung, agar kami dapat meningkatkan kualitas blog kami,
Terima kasih...