Sunday, November 25, 2012

(Cerpen) Ketabahan Menghadapi Hidup

Ketabahan Menghadapi Hidup

Disudut kota yang metropolitan ini, terdapat rumah kecil yang tak layak lagi untuk ditinggali oleh siapapun. Jangankan untuk manusia, untuk hewanpun sepertinya rumah itu tak layak untuk menjadi kandang. Rumah itu bagaikan jaring kecil yang tidak bisa menahan air hujan. Dinding rapuh yang kapanpun mungkin bisa rubuh. Sungguh menyedihkan rumah itu. Seakan tak ada pengghuni namun ternyata di dalam rumah itu hidup seorang anak perempuan bersama kakek yang sudah tua dan tak mampu berbuat banyak lagi.
Anak perempuan itu adalah Wati yang berumur 10 tahun yang harus bekerja keras mencari uang demi sesuap nasi. Dari lubuk hati yang paling dalam, kakek Wati tak mau melihat cucunya bekerja keras di usia yang masih kecil yang menurut kakek itu seharusnya cucunya hanya bermain bersama teman-temannya. Namun, apa daya dari kakek itu, ia tak bisa lagi mencari rezeki yang dikarenakan ia lumpuh. Setiap hari kakek itu hanya bisa melihat perginya Wati mencari uang dan pulangnya Wati membawa makanan. Hati kakek itu sangat sedih melihat keadaannya sekarang. Namun sekali lagi ia harus menghela nafas panjang dan hanya bersabar karena keadaannya itu.
Setiap hari Wati mencari nafkah di tengah kota yang sesak ini. Ia mencari uang dengan bekerja sebagai penyemir sepatu orang yang kebetulan lewat. Menurutnya, menyemir sepatu orang lebih baik daripada meminta-minta di pinggir jalan yang dapat menyusahkan orang yang sedang menggunakan jalan. Wati adalah seorang anak yang tegar dan kuat, ia mampu bertahan hidup dengan segala keterbatasan yang amat pedih. Ia pun juga tidak bersekolah, karena hanya meikirkan mecari uang untuk hidup kakeknya dan juga dirinya. Ia tak pernah letih dan terus berjuang menghadapi hidup yang kadang kejam.
Hari demi hari terus berlalu, wati yang bekerja sebagai penyemir sepatu akhirnya bertemu dengan seseorang di saat sedang mencari pelanggan yang mau disemir sepatunya.
“Nak, Nak,,, sini nak...” suara terdengar dari belakang Wati.
“Maaf bu, ibu memanggil saya?” Watipun berbalik arah dan mencari asal suara itu dan setelah mendapat sumber suara itu kemudian bertanya.
“Ia nak, kamu...” Ibu itupun menjawab pertanyaan Wati.
“Ada apa ya bu, maaf. sepatu ibu sepertinnya tidak bisa disemir” Ucap wati yang heran melihat seorang ibu yang berpenampilan mewah memanggilnya.
“Oh,,, tidak nak, saya bukan mau menyemir.” Timpal ibu itu.
“Kalau begitu,,, mau apa bu... maaf sebelumnya bu...” wati merespon.
“Kamu kok ada disini terus nak, pagi dan siang kamu disini terus, kamu tidak sekolah?” tanya ibu itu.
Sejenak Watipun tunduk dan terdiam, tak sadar ia teteskan air mata kecil yang jatuh dari pelupuk matanya. Sambil berpaling muka ia berusaha menjawab.
“Ma ma maaf bu... saya tidak sekolah” jawab Wati.
“Loh,,, kamu kok tidak sekolah?” tanya ibu itu lagi.
“Aku tidak punya uang bu’...” jawab Wati.
“Oh kasian kamu ya...” ucap ibu itu sambil menunjukkan wajah sedih yang benar-benar tulus apa adanya kepada wati.
            Melihat kerja keras dari seorang Wati mempertahankan hidup di kota yang sangat sibuk itu, Ibu itupun mengambil wati untuk di jadikan anak angkatnya dan membiayai hidup wati. Watipun merasa bahagia dan haru. Ia kini bisa sekolah dan tak perlu bekerja keras lagi mencari uang untuk kakek dan dirinya. Karena selain dia yang diangkat sebagai anak angkat, kakeknya juga tidak ditelantarkan. Wati masih diberi kesempatan tinggal bersama kakeknya di rumah ibu itu. Kini wati bisa mengahabiskan waktu yang tersisa bersama kakeknya.

No comments:

Post a Comment

Mohon komentar dari pengunjung, agar kami dapat meningkatkan kualitas blog kami,
Terima kasih...