A.
Judul
PEMANFAATAN LIMBAH Sargassum sp. SEBAGAI SOLUSI PENYEDIAAN BAHAN BAKAR ALTERNATIF DI MASA DEPAN UNTUK KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT PESISIR
B.
Latar Belakang Masalah
Sektor energi di Indonesia mengalami masalah serius, karena laju
permintaan energi di dalam negeri melebihi pertumbuhan pasokan energi. Minyak
mentah dan BBM sudah diimpor guna mengatasi permintaan yang melonjak dari tahun
ke tahun sehingga ketahanan energi nasional rentan terhadap fluktuasi harga dan
pasokan/permintaan minyak mentah dunia.
Energi Baru dan Terbarukan (EBT) harus mulai dikembangkan dan dikuasai
sejak dini, dengan mengubah pola fikir (mind-set)
bukan sekedar sebagai energi altenatif dari bahan bakar fosil tetapi harus
menjadi penyangga pasokan energi nasional dengan porsi EBT > 17% pada
tahun 2025 (Lampiran II Keppres no.5/2006 tentang Kebijakan Energi nasional)
berupa biofuel >5%, panas bumi >5%, EBT lainnya >5%, dan batubara cair
>2%, sementara energi lainnya masih tetap dipasok oleh minyak bumi <20 bumi="bumi" gas="gas">30% dan Batubara >33%. Pemerintah berkomitmen mencapai visi 25/25,
yaitu pemanfaatan EBT 25% pada tahun 2025.20>
Berkurangnya sumber bahan bakar minyak di Indonesia ditambah dengan laju
penggunaannya yang meningkat mendorong berbagai kalangan untuk mencari
sumber-sumber energi baru untuk menggantikan minyak bumi, salah satunya adalah
bahan bakar nabati. Bahan bakar berbasis nabati diharapkan dapat mengurangi
terjadinya kelangkaan BBM, juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan,
sehingga lebih ramah lingkungan. Salah satu contoh bahan bakar nabati adalah
bioetanol. Bioetanol dapat dibuat dari bahan-bahan bergula, berpati, atau
berserat. Bahan baku yang biasa digunakan sebagai bioetanol antara lain adalah
singkong atau ubi kayu, tebu, nira, sorgum, nira nipah, ubi jalar, ganyong,
rumput laut dan lain-lain.
Dalam pengolahannya sebagai bioetanol, komponen utama dalam rumput laut
(pati) merupakan komponen yang akan dikonversi menjadi bietanol. Oleh karena
itu, sangat penting untuk mengetahui pengaruh hidrolisis asam dari rumput laut
terhadap perolehan fermentable sugar
dalam proses pembuatan bioetanol. Dengan penelitian lebih lanjut, diketahuinya
ini akan membantu produsen bioetanol untuk mengetahui spesies yang dapat
menghasilkan bioetanol yang baik, dilihat dari jumlah pati yang dihasilkan
spesies tersebut setelah dihidrolisis.
Di Indonesia khususnya di
Sulawesi Selatan, limbah rumput laut khususnya Sargassum sp. banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal
ini dikarenakan kurangnya informasi dan pengetahuan masyarakat mengenai proses
pemanfaatan limbah tersebut sehingga limbah-limbah Sargassum sp. tersebut dibiarkan begitu saja tanpa ada pemanfaatan
yang baik dari masyarakat. Oleh karena itu, melalui tulisan ini sekiranya dapat
diperoleh informasi mengenai cara pemanfaatan limbah-limbah tersebut agar bias
dijadikan bahan bakar.
C.
Rumusan Masalah
1. Apa saja manfaat dari rumput laut coklat (Sargassum sp.) ?
2. Apa saja komposisi
kimia yang terdapat pada rumput laut
coklat (Sargassum sp.) yang dapat
dijadikan bahan bakar alternatif?
3. Bagaimana cara
memanfaatkan rumput laut coklat (Sargassum sp.) sebagai bahan
bakar alternatif ?
D.
Tujuan
Tujuan dari
Penulisan Karya Ilmiah ini adalah :
1.
Untuk
mengidentifikasi manfaat dari berbagai jenis rumput laut coklat (Sargassum sp.) Untuk
mengidentifikasi komposisi kimia yang terdapat pada Sargassum sp. yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif. Untuk mengetahui
cara memanfaatkan Sargassum sp. khususnya sebagai bahan bakar alternatif.
E.
Luaran yang
Diharapkan
Dengan adanya tulisan ini,
diharapkan masyarakat khususnya masyarakat pesisir dapat memanfaatkan berbagai
jenis Rumput Laut khususnya Limbah Sargassum
sp. sebagai bahan bakar alternatif, baik di produksi dalam skala rumah
tangga maupun dalam skala industri agar limbah-limbah Sargassum sp. tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pesisir.
F.
Kegunaan
Kegunaan dari tulisan ini yaitu
dapat memberikan informasi mengenai manfaat dan kandungan dari berbagai jenis rumput
laut khususnya Sargassum sp. yang ada
di Indonesia, dan dengan adanya tulisan ini masyarakat diharapkan mampu
mengolah dan memanfaatkan Sargassum sp.
sebagai bahan bakar alternatif yang bias dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya
masyarakat pesisir.
G.
Tinjauan Pustaka
Sargassum
sp. adalah salah satu genus dari kelompok rumput laut coklat yang merupakan
genera terbesar dari family sargassaceae. Klasifikasi Sargassum sp . (Anggadiredja et al. 2006) adalah sebagai berikut :
Divisio : Thallophyta
Kelas : Phaeophyceae
Bangsa : Fucales
Suku : Sargassaceae
Marga : Sargassum
Jenis : Sargassum sp.
Sargassum merupakan alga coklat yang terdiri dari
kurang lebih 400 jenis di dunia. Jenis-jenis Sargassum sp yang dikenal
di Indonesia ada sekitar 12 spesies, yaitu : Sargassum duplicatum, S.
histrix, S. echinocarpum, S. gracilimun, S. obtusifolium, S.
binderi, S. policystum, S. crassifolium, S. microphylum, S. aquofilum,
S. vulgare, dan S. polyceratium (Rachmat, 1999). Bentuk Sargassum sp dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Rumput laut coklat (Sargassum sp)
Sargassum sp. memiliki bentuk thallus gepeng, banyak percabangan yang menyerupai
pepohonan di darat, bangun daun melebar, lonjong seperti pedang, memiliki
gelembung udara yang umumnya soliter, batang utama bulat agak kasar, dan holdfast
(bagian yang digunakan untuk melekat) berbentuk cakram. Pinggir daun
bergerigi jarang, berombak, dan ujung melengkung atau meruncing (Anggadiredja et
al., 2008). Sargassum
biasanya dicirikan oleh tiga sifat yaitu adanya pigmen coklat yang menutupi
warna hijau, hasil fotosintesis terhimpun dalam bentuk laminaran dan alginat
serta adanya flagel (Tjondronegoro et al., 1989). Sargassum tersebar luas di Indonesia, tumbuh di perairan
yang terlindung maupun yang berombak besar pada habitat batu. Di Kepulauan
Seribu (Jakarta) alga ini biasa disebut oseng. Zat yang dapat diekstraksi
dari alga ini berupa alginat yaitu suatu garam dari asam alginik yang
mengandung ion sodium, kalsium dan barium (Aslan, 1999). Pada umumnya Sargassum tumbuh di daerah terumbu karang (coral
reef) seperti di Kepulauan Seribu, terutama di daerah rataan pasir (sand
flat ). Daerah ini akan kering pada saat surut rendah, mempunyai dasar
berpasir dan terdapat pula pada karang hidup atau mati. Pada batu-batu ini
tumbuh dan melekat rumput laut coklat (Atmadja dan Soelistijo, 1988).
Rumput laut jenis Sargassum umumnya
merupakan tanaman perairan yang mempunyai warna coklat, berukuran relatif
besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar yang kuat. Bagian atas tanaman
menyerupai semak yang berbentuk simetris bilateral atau radial serta dilengkapi
bagian sisi pertumbuhan. Umumnya rumput laut tumbuh secara liar dan masih belum
dimanfaatkan secara baik.. Rumput laut coklat memiliki pigmen yang memberikan
warna coklat dan dapat menghasilkan algin atau alginat, laminarin, selulosa,
fikoidin dan manitol yang komposisinya sangat tergantung pada jenis (spesies),
masa perkembangan dan kondisi tempat tumbuhnya (Maharani dan Widyayanti 2010).
Rumput laut
(sargassum sp.) telah lama dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan
obat. Sebagai sumber gizi, rumput laut memiliki kandungan karbohidrat
(gula atau vegetable-gum), protein, sedikit lemak, dan abu yang sebagian besar
merupakan senyawa garam natrium dan kalium. Selain itu, rumput laut juga
mengandung vitamin-vitamin, seperti A,B1,B2,B6,B12, dan C; betakaroten; serta
mineral, seprti kalium, kalsium, fosfor, natrium, zat besi, dan yodium.
Hidrokoloid
dari Rumput laut (Karaginan, Agar dan Alginat) sangat diperlukan mengingat
fungsinya sebagai gelling agent, stabilizer, emulsifier agent, pensuspesi,
pendispersi yang berguna dalam berbagai industri seperti industri makanan,
minuman, farmasi dan kosmetik, maupun industri lainnya seperti cat tekstil,
film, makanan ternak, keramik, kertas, fotografi dan lain- lain.
H.
Metode Penulisan
Metode penulisan pada tulisan ini yaitu
menggunakan pendekatan deskriptif dengan mengambil data sekunder dari berbagai
sumber seperti Buku, Skripsi, Tesis, Artikel, dan Literatur-literatur lain yang
berasal dari Internet.
I.
Hasil dan
Pembahasan
Rumput Laut (Sargassum
sp.)
Rumput laut (sargassum) adalah
salah satu jenis alga yang hidup di perairan dan merupakan tanaman
tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaan susunan kerangka seperti akar,
batang, dan daun. Rumput laut dikenal juga dengan nama seaweed merupakan bagian terbesar dari makro alga yang tergolong
dalam divisi Thalophyta (Winarno, 1996).
Komposisi kimia rumput laut
bervariasi karena perbedaan individu, spesies, habitat, kematangan, dan kondisi
lingkungannya. Komponen utama dari alga adalah
karbohidrat sedangkan komponen lainnya yaitu protein, lemak, abu (sodium dan
potasium) dan air 80-90% (Chapman 1970). Komposisi kimia Sargassum menurut
Yunizal (2004) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Sargassum
sp dari Kepulauan Seribu
Komposisi
Kimia
|
Persentase
(%)
|
Karbohidrat
|
19,06
|
Protein
|
5,53
|
Lemak
|
0,74
|
Air
|
11,71
|
Abu
|
34,57
|
Pemanfaatan Sargassum
sp. sebagai Bahan Bakar Alternatif
1. Hidrolisis
Asam
Hidrolisis merupakan reaksi kimia yang memecah molekul
menjadi dua bagian dengan penambahan molekul air (H2O), dengan tujuan untuk mengkonversi polisakarida menjadi monomer-monomer sederhana. Satu
bagian dari molekul memiliki ion hidrogen (H+) dan bagian lain
memiliki ion hidroksil (OH-). Umumnya hidrolisis ini terjadi saat
garam dari asam lemah atau basa lemah (atau
keduanya) terlarut di dalam air. Reaksi umum yakni sebagai berikut:
AB + H2O
à AH + BOH
Akan
tetapi, dalam kondisi normal hanya beberapa reaksi yang dapat terjadi antara
air dengan komponen organik. Penambahan asam, basa, atau enzim
umumnya dilakukan untuk membuat reaksi hidrolisis dapat terjadi pada kondisi
penambahan air tidak memberikan efek hidrolisis. Asam, basa maupun enzim dalam
reaksi hidrolisis disebut sebagai katalis, yakni zat yang dapat mempercepat
terjadinya reaksi (Lowry, 1987). Hidrolisis secara
kimiawi umumnya menggunakan asam. Hidrolisis secar asam ini memiliki kelebihan
karena murah dan mudah digunakan. Asam yang sering dipergunakan adalah asam
sulfat, asam klorida dan asam fosfat. Beberapa polisakarida biasanya
terhidrolisis oleh asam mineral seperti H2SO4. Selain
asam mineral, asam-asam organik seperti asam oksalat, asam trikloroasetat dan
asam inflouroasetat juga dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis
pati (Tjokroadikoesoemo, 1986). Hidrolisis asam
dapat dikategorikan melalui dua pendekatan umum, yaitu hidrolisis asam
konsentrasi tinggi pada suhu rendah dan hidrolisis asam konsentrasi rendah pada
suhu tinggi. Pemilihan antara dua cara tersebut biasanya didasarkan pada
beberapa pertimbangan seperi laju hidrolisis, tingkat degradasi,
produksi dan biaya total proses produksi (Kosaric et al.,
1983).
Hidrolisis
asam merupakan proses yang dilakukan secara acak atau tidak spesifik. Pada
hidrolisis selulosa secara asam untuk menghasilkan gula, terbentuk pula
5-hidroksimetil-2-2 furfuraldehida atau disebut juga hidroksimetilfurfural
(HMF) akibat penguraian glukosa pada suasana asam. HMF ini akan terus bereaksi
membentuk asam-asam organik seperti asam levulinat dan asam format pada suasana
asam dan suhu tinggi (Ulbricht et al., 1984). Pada umumnya
komponen terlarut yang terdapat pada hasil hidrolisis asam polisakarida adalah
xilosa, glukosa, selobiosa, furfuraldehida, hidroksimetilfurfural dan asam-asam
organik seperti asam format, asam levulinat serta asam asetat (Tsao et al.,
1978).
2. Fermentasi Bioetanol
Bioetanol merupakan istilah untuk etanol yang terbuat dari bahan
baku nabati dan diproduksi oleh mikroorganisme melalui proses yang disebut
fermentasi. Etanol merupakan nama trivial dari etil alhokol (C2H5OH),
sering pula disebut alkohol saja. Bentuknya berupa cairan yang tidak berwarna
dan mempunyai bau yang khas. Penggunaan etanol yang terbanyak adalah sebaga
pelarut sebesar 40% untuk membuat asetildehid 36% untuk penggunaan secara
kimiawi yang lain 15%, serta eter, glikol eter, etil asetat dan khoral 9%
(Paturau, 1981). Jika dibakar, etanol menghasilkan karbondioksida dan air.
Dengan mencampur etanol dan bensin, maka dapat dihasilkan bahan bakar campuran
yang dapat terbakar dengan sempurna dan dapat mengurangi emisi pencemaran
udara. Menurut Hambali et al. (2007), bioetanol memiliki kerakteristik yang
lebih baik dibandingkan dengan bensin berbasis petrokimia karena beberapa hal:
1.
Bioetanol
mengandung 35% oksigen, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan
mengurangi emisi gas rumah kaca.
2.
Bioetanol memiliki
nilai oktan yang lebih tinggi sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif
seperti metil tetra butil eter dan tetra etil timbal.
3.
Bioetanol memiliki
nilai oktan (ON) 96-113, sedangkan nilai oktan bensin hanya 85-96
4.
Bioetanol bersifat
ramah lingkungan, karena gas buangnya rendah terhadap senyawa-senyawa yang
berpotensi sebagai karbon monokdisa, nitrogen oksida, dan gas-gas rumah kaca.
5.
Bioetanol mudah
terurai dan aman karena tak mencemari air.
6.
Bioetanol dapat
diperbaharui (renewable energy) dan proses produksinya relatif lebih rendah
dibandingkan dengan proses produksi bensin.
Umumnya,
penggunaan bioetanol masih dalam bentuk campuran dengan bensin pada konsentras
10% (E-10) yaitu 10% bioetanol dan 90% bensin. Campuran bioetanol dalam bensin
disamping dapat menambah volume BBM, juga dapat meningkatkan nilai oktan hingga
mencapai poin ON 92-95. Selain itu, penambahan etanol dalam bensin dapat
berfungsi sebagai pengganti MTBE (metil tetra butil eter) yang sekarang ini
banyak digunakan sebagai bahan aditif alam bensin (Hambali et al., 2007).
Etanol
dapat diperoleh dari hasil proses fermentasi. Fermentasi adalah suatu proses
perubahan kimia pada substrat organik, baik karohidrat, protein, lemak atau lainnya
oleh mikroba spesifik (Prescott dan Dunn, 1981). Mikroorganisme yang
dipakai dalam fermentasi etanol umumnya adalah khamir. Khamir yang biasa
digunakan untuk menghasilkan etanol adalah Saccharomyces
cereviseae. Produk metabolit utama adalah etanol, CO2, dan
air, sedangkan beberapa produk lain dihasilkan dalam jumlah sedikit. Khamir ini
bersifat fakultatif anaerobik (Oura, 1983).
Untuk substrat dari rumput laut, telah dilakukan beberapa
penelitian sebelumnya namun jumlahnya masil belum banyak. Dari hasil penelitian
yang dilakukan, antara lain diperoleh kadar etanol sebesar 4,1% (b/v) yang
diproduksi dari rumput laut jenis Gelidium amansii (Kim, 2008) dan dari hasil
penelitian Devis (2008) yang memproduksi bioetanol dari bahan limbah karaginan Euchema cottonii dihasilkan etanol
berkadar 3,28 % (b/v).
Menurut
Reed dan Rehm (1981), Saccharomyces cerevisiae sering dipakai pada fermentasi etanol karena menghasilkan
etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol tinggi, mampu hidup pada suhu
tnggi, tetap stail selama kondisi fermentasi dan dapat bertahan hidup pada pH
rendah. Harrison dan Graham (1970) menambahkan bahwa Saccharomyces cerevisiae dapat
toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18 % v/v), tahan terhadap kadar
gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-320C. Kunkee
dan Mardon (1970) menyatakan bahwa Saccharomyces
cerevisiae mampu memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa serta rafinosa.
Secara umum, mikroorganisme ini dapat tumbuh dan memfermentasi gula menjadi
etanol secara efisien pada pH 3,5-6,0 dan suhu 28-350C. Pada
kondisi anaerobik, khamir memetabolisme gula menjadi etanol. Secara sederhana
proses fermentasi etanol dari bahan baku yang mengandung gula terlihat pada
reaksi berikut:
C6H12O6 à 2 C2H5OH
+ 2 CO2 + 2 ATP + 5 Kkal
Setiap mol glukosa
terfermentasi menghasilkan dua mol etanol, CO2 dan ATP. Oleh karena itu, secara teoritis setiap garam glukosa
memberikan 0,51 g etanol (Oura, 1983).
Metode untuk mengetahui pengaruh hidrolisis asam terhadap
perolehan fermentable sugar
a. Identifikasi Jenis Karbohidrat pada Rumput Laut
Langkah kerja preparasi sampel dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Langkah kerja
preparasi sampel HPLC
1.
Kemudian Sampel dimasukkan ke
dalam venojek yang terlebih dahulu telah disterilkan. Kemudian ditutup
rapat-rapat dan langsung dianalisis dengan menggunakan HPLC.
2.
Selanjutnya adalah penginjeksian
sampel ke dalam perangkat HPLC. Sampel diuji dengan HPLC dengan menggunakan 3
jenis kolom yang berbeda untuk analisis karbohidrat.
3.
Semua data yang didapat kemudian
dianalisis secara kuantitatif dengan membandingkan hasil kromatogram dari 3
jenis kolom yang berbeda dengan menggunakan uji “Completely Randomized Design”
pola faktorial 3 x 3.
b.
Sakarifikasi dengan Hidrolisis
Asam
Hidrolisis polisakarida dilakukan secara asam. Sebanyak 5 % bahan digunakan
dalam larutan H2SO4. Untuk penentuan perlakuan hidrolisis
asam yang digunakan, dipilih dua faktor yaitu konsentrasi asam dan waktu
hidrolisis. Konsentrasi asam yang dipilih adalah
lima taraf yakni 0,25 %, 0,5 %, 1,0 %, 1,5 % dan 2,0 % (v/v). Untuk waktu hidrolisis yang digunakan dipilih dua taraf yakni 10 dan 20
menit. Proses hidrolisis dilakukan dalam autoclave
pada suhu 121 oC dengan
tekanan 1 kg/cm2 dengan dua kali ulangan. Hasil dari hidrolisis dianalisis kadar gula
pereduksi dan total gulanya dan dipilih perlakuan terbaik berdasarkan parameter
tersebut. Prosedur perlakuan ini ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram Alir Sakarifikasi
dengan Hidrolisis Asam
c.
Analisis Hasil Hidrolisis Asam
Karakterisasi hasil hidrolisis asam meliputi
analisis jenis gula, gula total, jenis monosakarida penyusun karbohidrat, dan
derajat hidrolisisnya.
d.
Persiapan Kultur Saccharomyces cerevisiae
Isolat khamir Saccharomyces
cerevisiae diremajakan pada media PDA dan diinkubasi selama 2 hari. Setelah
itu isolat ditumbuhkan kembali dalam 30 ml media YGMP (± 9 ose/30 ml) yang
terdiri daei ekstrak khamir 5 g/l, malt ekstrak 5 g/l, glukosa 10 g/l, dan pepton
5 g/l. Inkubasi dilakukan pada shaker berkecepatan
120 rpm pada suhu kamar (28-300C) selama 24 jam.
e.
Proses Fermentasi
Larutan substrat dihidrolisis yang telah disaring
dan diambil filtratnya, kemudian dipekatkan hingga total gula sekitar 10%.
Campuran ditambahkan pupuk NPK dan ZA masing-masing sebanyak 0,0% dan 0,15%
dari volume larutan substrat. Volume yang digunakan adalah 300 ml. Selanjutnya
larutan diatur pHnya hingga mencapai pH ± 5 menggunakan NaOH 1 N, kemudian
sebelum substrat ditambahkan inokulum starter, dilakukan terlebih dahulu
pasteurisasi pada suhu ± 850C selama 5 menit. Inokulum starter yang
ditambahkan sebesar 10% dari volume substrat.
Proses fermentasi berlangsung pada sistem tertutup selama 72 jam dalam suhu
ruang. Labu ditutup dengan sumbat dan dihubungkan selang yang dimasukkan ke
gelas ukur dalam air untuk mengukur laju gas CO2 yang dihasilkan
dari proses fermentasi. Hasil fermentasi kemudian dianalisa dengan terlebih
dahulu dipasteurisasi pada suhu ± 650C selama 30 menit untuk
mengaktifkan mikroorgnisme. Proses fermentasi secara umum dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Diagram Alir Proses Fermentasi Bioetanol
J.
Simpulan dan Saran
1.
Simpulan
Kesimpulan dari
tulisan ini adalah :
Ø
Beberapa manfaat dari Sargassum
sp. adalah dapat dijadikan sebagai bahan makanan, minuman, obat-obatan,
cat, kertas, bahan bakar, dan lain-lain
Ø
Komposisi kimia yang terdapat pada sargassum sp. antara lain Karbohidrat, Protein, Lemak, Air, dan
Abu.
Ø
Cara memanfaatkan sargassum
sp. untuk dijadikan bahan bakar adalah dengan cara Fermentasi yang nantinya
akan menghasilkan bahan bakar berupa biogas dan bioetanol.
2.
Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai beberapa jenis rumput laut khususnya jenis rumput laut
yang tidak termanfaatkan dengan baik namun bisa dijadikan sebagai bahan bakar
alternatif maupun sesuatu yang bermanfaat lainnya, mengingat begitu besar
potensi Sumberdaya Alam yang ada di negara kita.
K.
Daftar Pustaka
Anggadireja, J Zatnika, Purwoto H, Istini S. 2006. Rumput Laut. Jakarta
: Penebar Swadaya. hal. 39-47.
Aslan LM. 1999. Budidaya
Rumput Laut. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Atmadja WS, Soelistijo. 1988. Beberapa aspek vegetasi dan habitat tumbuhan
laut bentik di pulau-pulau Seribu. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi-LIPI.
Chapman VJ. 1970. Seaweeds
and Their Uses . London : Metheun & Co. LTD.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Statistik Departemen Kelautan dan
Perikanan 2007. Jakarta: DKP.
Hambali E, Mudjadlipah S, Tambunan AH, Pattiwiri AW, Hendroko R. 2007. Teknologi
Bioenergi. Jakarta : Agromedia Pustaka.
Kim, G.S.
2008. Method of Producing Biofuel Using Sea Algae. Patent Application Korea
PCT/KR2008/001102.
Maharani MA, Widyayanti. 2009. Pembuatan alginat dari rumput laut untuk
menghasilkan produk dengan rendemen dan viskositas yang tinggi. Universitas
Dipenogoro.
Oura, E. 1983.
Reaction Product of Yeast Fermentation. Di
dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume III. Academic Press, New York.
Paturau, J.M. 1981.
By Products of Yeast Fermentations : An Introduction to Their Industrial
Utilization. Elsevier Scientific Publ.Co., Amsterdam.
Prescott SC, Dunn CG. 1981. Industrial Microbiology. New York :
McGraw-Hill Book Co.Ltd.
Rahcmat R. 1999. Kandungan dan karakteristik fisiko kimia alginat dari Sargassum
sp. yang dikumpulkan dari perairan Indonesia. Jakarta : Laboratorium Produk
Alam Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI.
Tjokroadikoesoemo, P. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya.
Gramedia, Jakarta
Tjondronegoro PD, Natasaputra M, Kusumaningrat T, Gunawan AW, Jaelani
M,Suwanto A. 1989. Botani Umum II . Bogor: Pusat Antar Universitas
IlmuHayat, Institut Pertanian Bogor .
Tsao, G.T.,
M. Ladisch, T.A. Hsu, B. Dale, C. Ladisch dan T. Chou. 1978. Fermentation
Substrates from Cellulosic Materials : Production of Fermentable Sugars from
Cellulosic Materials. Di dalam. D. Perlman (ed). Annual Reports on
Fermentation Processes Volume 2. Academic Press, New York.
Ulbricht, R.J., J.
Sharon dan J. Thomas. 1984. A Review of 5-hydroxymethylfurfural (HMF) in
parental solutions.
Fundamental Appl. Toxicol. 4: 843-853
Winarno FG. 2010. Enzim
Pangan. Bogor : M-BRIO Press.
Yunizal. 2004. Teknik Pengolahan Alginat . Jakarta : Pusat Riset
Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.